Ancaman global sudah
di depan mata. Indonesia salah satu negara yang sangat rawan terhadap
dampak negatif perubahan iklim. Perubahan iklim telah mengubah pola
presipitasi (hujan) dan evaporasi (penguapan), sehingga berpotensi
menimbulkan banjir di beberapa lokasi dan kekeringan di lokasi yang
lain. Kenyataan ini sangat mengancam berbagai bidang mata pencaharian
masyarakat di Tanah Air, terutama pertanian dan perikanan.
Dalam
beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan intensitas dan
frekuensi perubahan cuaca yang mengkhawatirkan. “Kita berulang
menghadapi banjir, kekeringan, dan kejadian-kejadian yang berawal dari
penggundulan dan kerusakan hutan,” kata mantan Menteri Negara
Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar.
Persoalan pemanasan global dan
perubahan iklim yang mengejala itu memperlihatkan bahwa berbagai
aktivitas pembangunan yang dilakukan tidak atau kurang memperhatikan
keberlanjutan ekologis, yang merupakan faktor mendasar bagi pembangunan
yang berkelanjutan.
Sejalan dengan gejala perubahan iklim,
kelangkaan air (kekeringan) pada musim kemarau menjadi salah satu isu
yang paling menonjol dalam sumber daya air. Demikian pula dengan
persoalan kelangkaan dan kesulitan air yang layak pakai (air bersih). Status Lingkungan Hidup Indonesia
tahun 2007 melaporkan, penurunan kualitas air disebabkan oleh rusaknya
daerah tangkapan air yang cenderung diperparah oleh gejala perubahan
iklim.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan air yang dilakukan Ditjen
Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, Pulau Jawa (yang memiliki
populasi dan industri tinggi), Bali, dan Nusa Tenggara Timur telah
mengalami defisit air sejak beberapa tahun terakhir, terutama pada musim
kemarau. Defisit air ini akan bertambah parah pada tahun-tahun
mendatang akibat pertambahan penduduk dan meningkatnya kegiatan ekonomi.
Gubernur
Jawa Timur Soekarwo mengatakan, kondisi mata air di Jawa Timur sudah
cukup kritis, sehingga diperlukan upaya penyelamatan terhadap yang masih
tersisa. “Dari laporan yang saya dapat, dari 117 mata air yang ada,
kini tersisa 53 sumber. Bahkan, ketika musim kemarau datang, sumber air
hanya tersisa tiga. Kita perlu menyelamatkan sumber mata air dari
kerusakan dengan melakukan konservasi melalui penanaman pohon di daerah
sumber mata air, serta di sekitar daerah aliran sungai,” katanya.
Tak
hanya di Jawa Timur, krisis air bersih terjadi di banyak kota di
Indonesia, termasuk di ibukota RI, DKI Jakarta. Dari data penelitian
Walhi, 125 juta (65 persen) penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa
yang kapasitas kandungan airnya hanya 4,5 persen saja.
Air
merupakan isu penting yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini,
karena air sangat penting bagi kehidupan. Adalah kenyataan, sekitar 85
persen masyarakat Indonesia masih mengonsumsi air yang kemungkinan besar
terkontaminasi, karena lokasinya tidak memperhitungkan jarak dari
tempat pembuangan tinja.
United States Agency for International
Development (USAID) dalam laporannya (2007), menyebutkan, penelitian
di berbagai kota di Indonesia menunjukkan hampir 100 persen sumber air
minum kita tercemar oleh bakteri E Coli dan Coliform. Kualitas air dari
segi bakteriologis untuk air minum sangatlah penting karena dapat
menimbulkan penyakit dan kematian dalam waktu singkat.
Data dari
Kementerian Kesehatan dan Bappenas tahun 2006, 19 persen kematian anak
di bawah tiga tahun disebabkan oleh diare atau setara dengan 100.000
anak meninggal setiap tahun. Diare adalah pembunuh kedua terbesar balita
Indonesia setiap tahunnya.
Kerusahan lahan dan hutan
Kerusakan
lahan merupakan faktor utama penyebab besarnya erosi dalam sebuah
ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga dapat mengganggu
pasokan/ketersediaan air untuk air baku air minum dan air untuk
mendukung kegiatan-kegiatan domestik, Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA), pertanian, industri, dan sebagainya.
Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun
2007 melaporkan, dari 23 DAS yang ada, sebagian besar (82,6 persen)
memiliki luas kawasan lindung kurang dari 30 persen. Walhi melaporkan,
60 dari 470 DAS yang ada di Indonesia dalam kondisi krisis. Dalam
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1991 terdapat ketentuan yang menyaratkan
luas hutan minimal 30 persen di setiap ekosistem DAS.
Kerusakan
sumber daya lahan dan hutan sudah sejak lama terjadi, karena negara
hanya memikirkan keuntungan ekonomis semata, menjadikannya sumber devisa
negara. Lebih-lebih ketika pengelolaan lingkungan hidup dilimpahkan
ke pemerintah provinsi/kabupaten/kota, sejak tahun 2007 lalu.
Kabupaten/kota defenitif baru hasil pemekaran, menjadikan sumber daya
hutan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), sehingga hutan
beralih fungsi.
Namun, keuntungan tersebut harus ditebus mahal,
dengan terjadinya kerusakan sumber daya lahan dan hutan. Jutaan hektar
lahan kritis terbentuk karena pemanfaatan sumber daya yang kurang
memperhatikan keberlanjutannya.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie mengungkapkan, kondisi hutan di
Indonesia sudah mengkhawatirkan karena 1,8 juta hektar hutan hancur per
tahun. “Data tersebut berdasarkan pengamatan dari tahun 2002 hingga
2005. Artinya tingkat kehancuran hutan mencapai dua persen setiap tahun
atau setara dengan 51 kilometer persegi per hari,” tandasnya.
Dengan
tingkat kerusakan yang 1,8 persen itu, Guinness Books of Record edisi
2008 mencatat Indonesia sebagai negara yang hutannya mengalami
kerusakan paling cepat di antara 44 negara yang masih memiliki hutan.
Laju
deforestasi yang tinggi di Indonesia telah menyebabkan timbulnya jutaan
hektar lahan kritis, diperkirakan mencapai 77 juta hektar, yang berada
di dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Lahan dan hutan kritis
yang mengalami kerusakan sangat parah dan terluas berada di di Provinsi
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Provinsi Riau.
Kerusakan
lahan dan hutan terjadi di mana-mana, dari Aceh hingga Papua. Di Papua,
misalnya, luas kawasan hutan mengalami pengurangan sekitar 3,5 juta
hektar dari sekitar 31,56 juta hektar pada dekade 1960-an hingga menjadi
28 juta hektar saat ini. “Pengurangan luas kawasan hutan Papua itu
sebagai dampak dari meningkatnya aktivitas pembangunan serta pengelolaan
hutan, akibat pemekaran wilayah kabupaten/kota,” kata Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Papua, Marten Kayoi.
Sekitar tujuh kabupaten
yang baru terbentuk di provinsi Papua yang berada di pegunungan tengah,
wilayah administratifnya seluruhnya berada di dalam kawasan hutan
lindung Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Memberamo.
Bahkan
di Jawa dan Bali, lebih kurang 91 persen dari hutan alam yang pernah
ada kini telah berubah musnah dan beralih fungsi untuk tujuan
pertanian, transportasi, perkebunan, pemukiman dan sebagainya.
Mencermati
kenyataan tersebut, penyelamatan tumbuhan asli Indonesia menjadi suatu
keniscayaan dan harus memacu kita untuk mencegah punahnya tumbuhan
sebagai aset yang tidak ternilai harganya untuk modal pembangunan dan
masa depan bangsa. Soalnya, keanekaragaman hayati merupakan salah satu
pilar utama dalam pembangunan nasional dan modal strategis dalam
meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa.
Ilmuwan Indonesia
berkelas dunia, Guru Besar Kimia Bahan Alam, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang, Dayar Arbain,
mengatakan, penelitian keanekaragaman hayati di hutan Sumatera
ditemukan sejumlah senyawa untuk bahan baku obat dan sudah dipatenkan.
Temuan senyawa itu menjadi incaran negara-negara industri farmasi di
dunia.
“Demi untuk kesejahteraan Indonesia, senyawa-senyawa kimia
aktif biologis khusus untuk obat itu, tidak akan saya jual. Sebab,
negara yang membeli bisa meraih keuntungan sedikitnya 200 juta dollar AS
per tahun. Kalau itu saya lakukan, sama saja saya menjual Indonesia,”
tandasnya. Ekstrak senyawa temuan Dayar pernah ditawari negara Jepang,
Jerman, dan Belanda, dengan harga miliaran rupiah.
Yang
mencemaskan Dayar Arbain sekarang, temuannya belum dikembangkan
sementara kondisi hutan sudah rusak parah. Bukan tidak mungkin,
keanekaragaman hayati yang menjadi bahan baku obat itu punah. Padahal
nilai kayu, tidak seberapa dibanding nilai tanaman obat itu kalau
diindonesia dibangun industri obat-obatan, yang bisa menguntungkan
sedikitnya 200 juta dollar AS per tahun.
Adalah kenyataan,
Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country, karena memiliki
keanekaragaman hayati yang melimpah, peringkat lima besar di dunia.
Tercatat lebih dari 38.000 jenis tumbuhan, di mana 55 persen di
antaranya merupakan jenis endemik.
Untuk pulau Jawa saja, ungkap
Ketua LIPI Umar Anggara Jenie, setiap 10.000 kilometer persegi terdapat
2.000 sampai 3.000 jenis tanaman endemik. Sedangkan di Kalimantan dan
Papua mencapai lebih dari 5.000 jenis. Dan masih banyak keanekaragaman
hayati lainnya yang berpotensi dan memiliki prospek secara ekonomis
maupun keilmuan.
Sekretaris Utama LIPI Rochadi Abdul Hadi
menggarisbawahi, fakta di lapangan menunjukkan degradasi habitat yang
berimplikasi pada penurunan keanekaragaman ekosistem, jenis, dan genetik
memperlihatkan tren yang semakin mengkhawatirkan. Kegiatan-kegiatan
merusak lahan dan hutan (gambut) di berbagai daerah di Indonesia tidak
hanya sebatas menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber
daya alam di sekitarnya, tetapi juga menyebabkan hilangnya fungsi hutan
sebagai penyimpan dan penyerap karbon, sebagai daerah resapan air yang
mampu mencegah banjir pada wilayah sekitarnya pada musim hujan dan
mencegah instrusi air asin pada musim kemarau.
Kerusakan hutan
juga berdampak terhadap kesehatan. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
dalam buku Rencana Aksi Nasinal dalam Menghadapi Perubahan Iklim (2007)
mengatakan, kekurangan akses terhadap air minum dan sanitasi, serta
buruk dan rusaknya lingkungan akan membawa dampak yang membahayakan
kesehatan. Tentang dampak yang membahayakan kesehatan itu, peneliti
Sarah Olson dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, dalam laporan
penelitiannya di jurnal Emerging Infectious Diseases (2010) mengatakan,
pengundulan hutan di Amazon membantu nyamuk berkembang dan menyebabkan
angka malaria melonjak. “Ditemukan 48 persen peningkatan dalam kasus
malaria di satu wilayah di Brazil setelah 4,2 persen pohon lindung
ditebang,” katanya.
Malaria disebabkan oleh parasit yang
menularkan nyamuk, membunuh sekitar 860 ribu orang per tahun secara
global, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Brazil memiliki sekitar
500 ribu kasus malaria per tahun, sebagian besar disebarkan oleh nyamuk
Anopheles.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Perusakan
hutan juga membuat kasus malaria meningkat. Data Kementerian Kesehatan,
penyakit malaria masih merupakan penyakit menular dengan prevalensi
terbesar, yakni 2,85.
Solusi: Pelestarian Hutan
Karena
kerusakan lahan dan hutan berdampak terhadap krisis air, maka mendesak
kiranya dilakukan berbagai upaya pengelolaan sumber daya lahan dan
hutan. Lahan dan hutan yang kritis dan gundul, harus dihijaukan kembali.
Mungkin berbagai program sudah, sedang, dan akan dilaksanakan. Sejak
tahun 2005 lalu, misalnya, ada program pengembangan Lahan Pertanian
Abadi (Lestari) 2025, yang ditetapkan oleh Presiden dengan luas yang
ditargetkan 15 juta hektar.
Sekarang dengan isu pemanasan global,
ajakan penanaman pohon bergema ke mana-mana. Menanam pohon adalah upaya
awal mengurangi pemanasan global. Perusahaan-perusahaan dalam program
corporate social responsibility (CSR), kini menggalakkan penanaman
pohon. Danone Aqua, misalnya, hingga 2010 ini sudah ada 300.000 pohon
yang ditanam.
“Target hingga 2011 nanti bisa ada 700.000 pohon
yang akan ditatam. Kami tidak mementingkan jumlah pohon yang ditatam,
tapi bagaimana kesinambungan penanaman pohon ini terus berlangsung.
Sebab, pelestarian lingkungan demi melindungi pemenuhan kebutuhan sumber
daya alam bagi manusia sungguh merupakan suatu yang tak bisa
ditawar-tawar,” kata Pimpinan Danone Aqua, Parmaningsih Hadinegoro, yang
5 Agustus lalu mewakili Aqua menerima penghargaan dalam Indonesia
Green Awards 2010. Dalam penghargaan tersebut, Agua mendapat Gold Award
pada kategori Green CSR dan Green Manufacture.
Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono mencanangkan hingga 2013 program penanaman satu miliar
pohon. “Sampai saat ini sudah terlaksana sebanyak 30 juta-an pohon.
Kita berkeyakinan target penanaman pohon tersebut bisa tercapai bila
seluruh pemangku kebijakan, swasta, BUMN,
dan masyarakat sama-sama menanam pohon di lingkungan masing-masing,”
kata Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Kementerian
Kehutanan RI, Indri Astuti.
Pohon-pohon yang ditanam, lanjut Indri
Astuti, sebaiknya juga dipelihara sampai pohon itu jadi dan bermanfaat
bagi semua. Kegiatan penanaman satu miliar pohon ini akan membantu
Indonesia dalam mengurangi emisi karbon hingga 26 persen pada 2020 dan
bila program itu dibantu asing, maka emisi karbon yang dikurangi bisa
mencapai 40 persen.
Jika pohon yang ditanam jenis Trembesi, maka
dapat menurunkan konsentrasi gas karbon dioksida secara efektif dalam
waktu yang lebih singkat. Sebab, dari hasil penelitian pakar dari
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, satu
batang pohon Trembesi (diameter tajun 15 meter) mampu menyerap 28,5 ton
gas karbon dioksida setiap tahun.
Penasehat khusus Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim,
George Soros, ketika bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Mei
2010 lalu, mengatakan, peran Indonesia untuk mendorong mengatasi
pemanasan global sangat besar.
“Saya ditugaskan oleh Sekretaris
Jenderal PBB untuk memantau langkah pencegahan global warming. Indonesia
salah satu yang memimpin dan Presiden pegang peranan penting dengan
menawarkan 26 persen kurangi emisi dan lebih dari itu bila ada
asistensi,” katanya.
Peran Indonesia dalam mencegah dan atau
mengendalikan gejala perubahan iklim ini akan sangat berarti. Kawasan
hutan yang luas sangat potensial sebagai tempat menyerap karbon
demikian pula dengan lautan, yang luasnya dua per tiga dari luas wilayah
Indonesia, yang dianggap memiliki potensi yang sangat besar dalam
mencegah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim karena
kemampuan menyerap karbon dioksida.
Konservasi Sumber Daya Air
Penanaman
pohon dalam program satu miliar pohon, tentu tak sebatas bagaimana
karbon dioksida bisa terserap banyak. Melainkan juga untuk menghasilkan
sumber daya air. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sumarto,
yang dihubungi Senin (23/8) mengatakan, setiap satu pohon yang ditanam,
selama daur hidupnya akan menghasilkan 250 galon air.
“Setiap
pohon yang ditanam dalam ekosistem hutan tropis pegunungan, selama daur
hidupnya akan menghasilkan air 250 galon air. Saat ini, Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango yang luasnya 22.851 hektar, menghasilkan 231
miliar liter air per tahun,” paparnya. “Saat ini ada 20 perusahaan air
dalam kemasan yang berada di hilir TN Gunung Gere Pangrango,” tambahnya.
Kebanyakan
kita kurang menyadari bahwa, walau Indonesia memiliki sungai, danau,
waduk, dan rawa yang relatif banyak sebagai potensi sumber daya air
selain air tanah, namun tidak semuanya bisa digunakan untuk kepentingan
air bersih. Apalagi kalau lahan dan hutan mengalami rusak parah, yang
jumlahnya mencapai 77 juta hektar, tentu potensi sumber daya air menjadi
berkurang.
Menurut Maude Barlow dan Tony Clarke (Blue Gold,
2005), jumlah air di planet Bumi kira-kira 1,4 miliar kilometer kubik.
Dari jumlah itu, air tawar yang tersedia hanya 2,6 persennya atau 36
juta kilometer kubik. Tak banyak volume air tawar yang dapat dinikmati
manusia dari siklus air yang berlangsung cepat, yaitu hanya sekitar 0,77
persen dari total air tawar yang ada di alam, atau hanya 11 juta
kilometer kubik.
Makanya jangan heran krisis air terjadi di mana-mana. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain.
Upaya
penyelamatan lingkungan, termasuk di antaranya penyelamatan
sumber-sumber air, harus dilakukan secara terintegrasi dan
berkelanjutan. Hal ini tak bisa ditawar-tawar. Apalagi Indonesia dalam
visi airnya, telah mencanangkan menuju terwujudnya kemanfaatan air yang
mantap, yang berdaya guna, dan berhasil guna, serta berkelanjutan bagi
kesejahteraan seluruh rakyat. Salah satu cara adalah dengan laku budaya
hemat air dan ramah lingkungan seluruh komponen masyarakat. Gerakan
hemat air harus lebih digalakkan.
Aksi lain yang perlu
diimplementasikan adalah memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah
sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air maupun sebagai
perangkat pengelolaan air dan sumber air.
Mengadakan inventarisasi
DAS yang mengalami pencemaran, namun tingkat penggunaan airnya sangat
tinggi di Jawa untuk dapat ditentutan prioritas penanganannya. Sekaligus
meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki
daerah tangkapan air sebagai daerah resapan air melalui upaya korservasi
lahan.
Melaksanakan pembangunan situ, embung, dan waduk, karena
tempat-tempat penampungan air tersebut dapat digunakan sarana menyimpan
air di musim hujan sehingga bisa dimanfaatkan airnya di musim kemarau.
Juga penting mengadakan perubahan pola operasi dan pemeliharaan waduk
dan bangunan pelengkap/penunjangnya untuk menyesuaikan dengan adanya
peningkatan intensitas hujan dan berkurangnya curah hujan sebagai dampak
adanya perubahan iklim.
Penting juga melembagakan pemanfaatan
informasi prakiraan cuaca dan iklim secara efektif dalam melaksanakan
operasi dan pengelolaan air waduk, sehingga dapat menekan resiko
kekeringan dan kebanjiran lebih efektif.
Penelitian geohidrologi
untuk mengetahui cekungan-cekungan air tawan juga penting, sehingga
dapat dibangun dan dipertahankan situ-situ, danau-danau, dan pembangunan
resapan air serta penampungan air, baik di gedung-gedung maupun di
dalam tamah. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kewajiban pemilik
gedung untuk membuat resapan air dan penampungan air.
Gerakan
Indonesia hijau dengan menanam pohon harus terus digalakkan. Pada
anak-anak, remaja, dan generasi muda harus ditanamkan budaya “Muda
Menamam, Tua Memanen”. Jadi, menanam pohon bukan sekadar kegiatan
seremonial, tapi berkelanjutan.
Hal lain yang perlu kita lakukan
adalah memanen hujan. Mencegah seminimal mungkin air hujan terbuang ke
laut untuk dimanfaatkan pada musim kemarau dengan membangun sarana
infrastruktur penampung air seperti waduk, embung, situ, sumur-sumur
resapan, lubang resapan biopori, dan tandon air. Upaya ini juga
dimaksudkan untuk mencegah bencana banjir yang selalu datang pada musim
hujan.
Perlu juga perencanaan dan pelaksanaan strategi nasional
pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Melakukan rehabilitasi
pengelolaan air di daerah lahan gambut pada kanal-kanal terbuka dengan
membangun sistem buka-tutup pada kanal tersebut untuk menjaga kestabilan
muka air tanah. Dan menginventarisasi daerah lahan gambut sesuai dengan
karakteristiknya dan perlu dibuat penataan ruang lahan gambut sesuai
karakteristik tersebut.
Mencermati pengalaman negara Australia
ketika membantu penanganan kebutuhan air bersih masyarakat pascagempa di
Sumatera Barat, 30 September 2009 lali, yang mengembangkan teknologi
untuk mengolah air asin (laut) menjadi air tawar yang dapat diminum,
maka teknologi itu ke depan perlu dikembangkan di Indonesia, terutama di
daerah-daerah krisis air bersih. (YURNALDI)
Sumber : http://sains.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar