METEDOLOGI
ILMIAH
RANCANGAN
PENELITIAN
DISUSUN
OLEH : PUTU HARDIKUSUMA
NIM : 26020111140098
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
FENOMENA PLASTISITY PADA MIGRASI IKAN SIDAT (Anguilla sp.)
Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari
perubahan-perubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama
proses migrasi. Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh
perubahan morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. ada ikan sidat
perubahan morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver
eel, meliputi pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu.
Sedangkan perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan
atau perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang
memiliki karakter fisika dan kimia berbeda.
Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang dialami oleh ikan sidat
selama proses migrasi, baik perubahan morfologi maupun perubahan fisika.
Ø
Adaptasi
Morfologi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur organisme,
tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan hidup) sehingga bisa
berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai macam strategi beradaptasi
terhadap morfologinya. Di antara adaptasi morfologi yang ada pada ikan sidat
adalah bentuk badan, warna kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan
lain-lain. Adaptasi bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada
fase leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini
sangat penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif (
pasif transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih
lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai upaya adaptasi
terhadap serangan predator.
Pada saat memasuki perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis
yaitu bentuk badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat
memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat memasuki muara
sungai, dan melakukan tingkah laku meliang dalam lumpur. Di samping itu,
kelenturan badan berperan dalam membantu ikan sidat bersembunyi dibalik batu
untuk menghindari serangan predator.
Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pada
tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan, sehingga memudahkan
larva mengindar dari serangan preda- tor. Seiring dengan pertambahan ukuran
badan pigmen ikan sidat mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan
ikan akan semakin terang untuk mengikat pasangan.
Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap getaran terutama
di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini sangat membantu ikan sidat
dalam bergerak karena kemampuan penglihatannya kurang baik. Di samping itu,
ikan sidat juga memiliki organ penciuman yang sangat baik untuk membantu
mengatasi kelemahan penglihatannya.
Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-lamela yang
ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk mengambil oksigen langsung
dari udara, selain oksigen yang terlarut dalam air. Untuk mempertahankan
kelembaban dalam rongga branchial, sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa
organ yang sangat kecil terletak di bagian belakang kepala dan sangat sulit
dilihat (Tesch, 2003).
Mata ikan sidat akan beradaptasi saat memasukan perairan laut dalam.
Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat kali lipat ukuran normal, hal ini
dilakukan untuk meningkatan kemampuan melihat karena lingkungan perairannya
sudah mulai gelap. Pankhrust (1982) menyatakan pada saat memasuki perairan laut
dalam komposisi sel retina akan mengalami perubahan, menyesuaikan intensitas
cahaya.
Ø
Adaptasi
Fisiologi
Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan bermigrasi dari
perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar 3.000 km terjadi
perubahan pada badan yaitu diameter mata membesar. Pankhrust (1982) menyatakan
bahwa membesarnya mata saat memijah mencapai empat kali dari sebelumnya. Selain
mata, perubahan badan lainnya ketika akan memijah antara lain warna sirip
pektoral yang makin gelap, perubahan komposisi sel pada retina, perubahan warna
badan menjadi silver, sisik membesar, dermis menebal, densitas sel mukus
meningkat terutama pada betina, bentuk kepala agak pipih, adanya peningkatan
panjang dan diameter kapiler pada gelembung renang, peningkatan aktivitas
Na+/K+-ATP ase pada insang, usus mengalami peningkatan bobot namun jumlah
lipatannya menurun, serat otot tonus meningkat, penumpukan glikogen dalam hati
dan lain- lain. Mekanisme perubahan badan tersebut banyak melibatkan
hormon-hormon dalam badan, karena perubahan lingkungan akan mempengaruhi
hipotalamus, yang seterusnya mempengaruhi hipofisa dan organ-organ target di
bawahnya.
Menurut Tesch (1977), perkembangan gonad sidat terbagi menjadi delapan
tingkatan mulai dari gonad berbentuk benang tipis hingga berupa pita berwarna
putih. Scott (1979) mengemukakan faktor lingkungan yang dominan yang
mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu, pakan, periode cahaya, dan musim.
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap determinasi kelamin. Pada keadaan
temperatur sedang (20°C–23°C) akan menghasilkan lebih banyak jantan sedangkan
pada temperatur rendah dan tinggi akan didominasi oleh betina. Perkembangan
gonad sangat terkait dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan
sidat tidak makan sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Kondisi
malnutrisi ini dapat mempengaruhi fungsi hipofisis gonadotropin yang berakibat
pada penghambatan pertumbuhan gonad. Pada kondisi ini ikan akan memanfaatkan
energi yang ada dalam badan untuk maintenance dan perkembangan gonad. Simpanan
energi dalam badan ikan berasal dari konsumsi pakan dengan kadar lemak tinggi.
Periode pencahayaan dan musim sangat berpengaruh pada kematangan gonad
ikan sidat sub tropis. Untuk spesies tropik musim hujan dan banjir sangat
mempengaruhi kematangan gonad hal ini disebabkan oleh perubahan konsentrasi
garam-garam dalam air, dan pasokan pakan akibat banjir akan memacu perkembangan
gonad. Querat et al. (1987) menduga bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan
yang dapat menginduksi kematangan gonad pada sidat, dengan cara menstimulasi
ekskresi estradiol 17. Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap
perkembangan gonad ikan sidat telah diteliti oleh Herianti (2005) dari hasil
penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa cahaya dan salinitas mempengaruhi
perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang
diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar.
Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih tinggi berkaitan
Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat menghadapi
kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan sidat lebih tahan
terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan
lainnya. Pada kondisi “ apnoea”, yaitu keadaan di mana otot-otot pernafasan dan
alat pernafasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver
(benih sidat) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver
hanya menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil
oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup
dalam kondisi hipoxia (kekurangan oksigen). Ikan sidat mampu bernafas melalui
permukaan kulit dan pada kondisi tertentu insang ikan sidat juga mampu
mengambil oksigen langsung dari udara (Tesch, 2003).
Sidat berukuran 100 g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang
rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi (
hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100 g
diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat
berukuran 100–300 g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan
kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Ikan sidat mempunyai toleransi
yang tinggi terhadap suhu hal ini disebabkan karena secara alami ikan yang
melakukan aktivitas migrasi memiliki toleransi yang luas terhadap suhu dan
salinitas. Daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya ukuran badan ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla
australis mampu hidup pada suhu 28°C, elver 30,5°C–38,1°C dan sidat dewasa
39,7°C. Ikan sidat tropis ( A. bicolor, A. marmorata ) kemungkinan besar
mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. austra- lis .
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi
terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan
bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami
pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar.
Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respons ikan sidat
terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar
dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt,
glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu
meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang
sedang bermetamorfosa ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika
berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan
diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses
osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar