Senin, 15 Februari 2016

Keanehan Jejak Kaki Macan di Tembalang Semarang

Ini kisah desa di tepian Kota Semarang.
Keanehan Jejak Kaki Macan di Tembalang Semarang
Desa Kramas Tembalang Semarang adalah sebuah desa yang terletak di pinggiran kota Semarang. Perkampungan yang dekat dengan kampus Undip di Tembalang ini banyak kontrakan mahasiswa tersebar. Selain itu juga banyak perumahan mewah dengan harga ratusan juta.

Di sudut desa Kramas, di sebuah kebun terdapat jurang yang cukup curam. Di bawah jurang terdapat semak belukar dan pepohonan yang rimbun. Jalan akses masuk sangat curam sehingga jarang dimasuki orang sampai sekarang. Lokasi ke tebing jurang juga sulit dijangkau karena rimbun, melewati kebun yang cukup luas.

Beberapa tahun lalu, warga desa Kramas pernah digegerkan karena ditemukan jejak kaki binatang buas seperti macan atau harimau. Jejak kaki itu menyusur dari pinggir kebun sampai ke tepi jurang.

“Saya sempat melihat jejak kaki itu ,saya ikuti lenyap di tepi jurang,” ujar Gunarso (40), warga Kramas menceritakan kejadian menggemparkan itu.

Saat ditemukan jejak itu, beberapa hari warga tidak berani keluar rumah karena ketakutan. Mereka tidak menduga bahwa masih ada macan yang hidup di desa yang banyak dihuni warga itu. Padahal penampakan terakhir macan itu sekitar tahun 1995-1998.

Jejak kaki macan itu mengingatkan warga kejadian sekitar tahun 1990-an. Saat itu ada warga yang nekat turun ke jurang ingin mengetahui kondisinya. Ternyata dia menemukan anak macan lalu di bawa ke rumahnya.

Malam harinya terjadi kehebohan, induk macan itu berkeliaran dari ujung desa ke ujung desa. Suara geramannya yang keras membuat warga ketakutan. Dengusannya jelas terdengar dari rumah warga yang berdinding papan. Induk macam itu berkeliling mencari anaknya yang dibawa warga.

Sesampai di dekat rumah orang yang menyimpan anak macan itu, induk macan mengaum keras, kakinya menggaruk-garuk dinding rumah berkali-kali menimbulkan suara berisik. Semalamana macan itu menteror pemilik rumah,  menggeram-geram di samping rumah.

Pemilik rumah pun menggigil ketakutan tak berani mengintip keluar rumah. Akhirnya keesokan paginya, buru-buru anak macan itu dikembalikan ke dalam jurang. Setelah itu gangguan macan tak muncul lagi. Suasana kembali tenang.

Bertahun-tahun tak terdengar kabar tentang macan itu lalu muncul lagi jejak kaki macan beberapa tahun lalu.

“Mungkin macan itu masih hidup di bawah jurang, soalnya tidak ada yang berani mengecek ke bawah. Misalnya masih hidup menjadi unik dan aneh ada macan di kota, biasanya kan di gunung atau hutan,” ujar Gunarso.

Di Wikipedia disebutkan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) atau macan kumbang adalah salah satu subspesies dari macan tutul jawa yang hanya ditemukan di hutan tropis, pegunungan dan kawasan konservasi pulau jawa. Macan tutul ini memiliki dua variasi warna kulit yaitu berwarna terang (oranye) dan hitam (macan kumbang).

Dibandingkan dengan macan tutul lainnya, macan tutul jawa berukuran paling kecil, dan mempunyai indera penglihatan dan penciuman yang tajam. Subspesies ini pada umumnya memiliki bulu seperti warna sayap kumbang yang hitam mengilap, dengan bintik-bintik gelap berbentuk kembangan yang hanya terlihat di bawah cahaya terang.

Bulu hitam Macan Kumbang sangat membantu dalam beradaptasi dengan habitat hutan yang lebat dan gelap. Macan Kumbang betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan. Macan tutul merupakan satu-satunya kucing besar yang masih tersisa di Pulau Jawa. 

Sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/625644-keanehan-jejak-kaki-macan-di-tembalang-semarang

BADAK JAWA

Nama Latin: (Rhinoceros sondaicus sondaicus)
  
 © WWF-Indonesia/Balai TNUK
Induk badak dan anak jantannya.

Badak Jawa merupakan salah satu mamalia besar terlangka di dunia yang ada diambang kepunahan. Dengan hanya sekitar 50 ekor individu di alam liar, spesies ini diklasifikasikan sebagai sangat terancam (critically endangered) dalam Daftar Merah IUCN. Ujung Kulon menjadi satu-satunya habitat yang tersisa bagi badak Jawa. Populasi badak Jawa di Vietnam telah dinyatakan punah.

Status badak Jawa dilindungi sejak 1931 di Indonesia, yang diperkuat dengan penetapan Ujung Kulon di barat daya pulau Jawa sebagai taman nasional sejak 1992.

Deskripsi Fisik
  • Cula kecil dengan panjang sekitar 25 cm untuk badak jantan sementara badak betina hanya memiliki cula kecil atau tidak sama sekali.
  • Berat badan antara 900 – 2.300 kg, dengan panjang badan 2 – 4 meter dan tinggi 1.7 meter.
  • Berwarna abu-abu dengan tekstur kulit yang tidak rata dan berbintik.
  • Badak jantan mencapai fase dewasa setelah 10 tahun, sementara betina pada usia 5 sampai 7 tahun dengan masa mengandung selama 15 – 16 bulan.
  • Bagian atas bibirnya meruncing untuk mempermudah mengambil daun dan ranting.

Ekologi dan HabitatBadak Jawa pernah hidup di hampir semua gunung-gunung di Jawa Barat, diantaranya berada hingga diatas ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut. Pada tahun 1960-an, diperkirakan sekitar 20 sd 30 ekor badak saja tersisa di TN Ujung Kulon.

Populasinya meningkat hingga dua kali lipat pada tahun 1967 hingga 1978 setelah upaya perlindungan dilakukan dengan ketat, yang didukung oleh WWF-Indonesia. Sejak akhir tahun 1970-an, jumlah populasi Badak Jawa tampaknya stabil dengan angka maksimum pertumbuhan populasi 1% per tahun.


Berdasarkan pengamatan terhadap ukuran wilayah jelajah dan kondisi habitat, Ujung Kulon diperkirakan memiliki daya dukung bagi 50 individu badak. Hanya saja, populasi yang stagnan menandakan batas daya dukung sudah dicapai. Karena alasan tersebut serta upaya preventif menghindarkan populasi badak dari ancaman penyakit dan bencana alam, para ahli merekomendasikan adanya habitat kedua bagi Badak Jawa. Beberapa lokasi yang menjadi pertimbangan adalah: Hutan Baduy, Taman Nasional Halimun – Salak, Cagar Alam Sancang dan Cikepuh.

AncamanSudah tidak ditemukan kasus perburuan liar badak Jawa sejak tahun 1990-an karena penegakan hukum yang efektif oleh otoritas taman nasional yang diiringin dengan inisiatif-inisiatif seperti Rhino Monitoring and Protection Unit (RMPU) serta patroli pantai.

Ancaman terbesar bagi populasi badak Jawa adalah:
  • Berkurangnya keragaman genetis
    Populasi badak Jawa yang sedikit menyebabkan rendahnya keragaman genetis. Hal ini dapat memperlemah kemampuan spesies ini dalam menghadapi wabah penyakit atau bencana alam (erupsi gunung berapi dan gempa).
  • Degradasi dan hilangnya habitat
    Ancaman lain bagi populasi badak Jawa adalah meningkatnya kebutuhan lahan sebagai akibat langsung pertumbuhan populasi manusia. Pembukaan hutan untuk pertanian dan penebangan kayu komersial mulai bermunculan di sekitar dan di dalam kawasan lindung tempat spesies ini hidup.

Upaya yang dilakukan WWF untuk perlindungan Badak JawaWWF dan mitra kerjanya membantu petugas Balai Taman Nasional memonitor badak melalui kamera trap dan analisis DNA dari sampel kotoran. Sejak pertama kali dimulai pada 2001, empat belas kelahiran badak berhasil di dokumentasikan oleh kamera dan video jebak yang dioperasikan WWF bersama dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon.

Sejak Februari 2011, pengelolaan kamera dan video jebak secara penuh dilakukan oleh Balai Taman Nasional, sementara WWF memfokuskan kegiatanya pada observasi perilaku, pola makan, serta penelitian mengenai resiko dan ancaman wabah penyakit.

Observasi terhadap pola prilaku badak dapat memberikan informasi mengenai interaksi badak dengan lingkungan sekitarnya, data-data fisiologis (misalnya tingkat respirasi) yang mengindikasikan tingkat stress dan kondisi tiap individu badak. Saat ini WWF bekerja dengan Departemen Kehutanan, Balai Taman Nasional dan masyarakat lokal untuk mengkaji kemungkinan pembuatan habitat kedua dan translokasi badak –yang telah diseleksi terlebih dahulu berdasarkan kondisi kesehatan dan fertilitas-nya) untuk menginisiasi populasi baru sambil tetap melindungi populasi aslinya di Taman Nasional Ujung Kulon.

 
 © WWF-Indonesia

Sumber: WWF

HILANGNYA ELANG JAWA DI HABITAT ASLI

      Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu spesies elang berukuran sedang yang endemik (spesies asli) di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia. Pertama kali saya menyaksikan penampakan burung Elang Jawa secara langsung pada pertengahan tahun 2005 di sekitar Air Tiga Rasa di Gunung Muria Jawa Tengah. 
     Sayang, sampai sekarang saya belum berkesempatan untuk menyaksikannya untuk yang kedua kali. Secara fisik, Elang Jawa memiliki jambul menonjol sebanyak 2-4 helai dengan panjang mencapai 12 cm, karena itu Elang Jawa disebut juga Elang Kuncung. Ukuran tubuh dewasa (dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 60-70 sentimeter, berbulu coklat gelap pada punggung dan sayap. Bercoretan coklat gelap pada dada dan bergaris tebal coklat gelap di perut. Ekornya coklat bergaris-garis hitam. Ketika terbang, Elang Jawa hampir serupa dengan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya. 

ElangJawa (Spizaetus bartelsi)
     Sorot mata dan penglihatannya sangat tajam, berparuh kokoh, kepakan sayapnya kuat, berdaya jelajah tinggi, dan ketika berdiam diri sosoknya gagah dan berwibawa. Kesan “jantan” itulah yang barangkali mengilhami 12 negara menampilkan sosok burung dalam benderanya. Bersama 19 negara lain, Indonesia bahkan memakai sosoknya sebagai lambang negara dengan burung mitologis garuda Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor. Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam punah. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya ekstra ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau “Genting” (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995). Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara. Elang Jawa Terbang Elang Jawa terbang Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Bahkan saat ini, habitat burung ini semakin menyempit akibat minimnya ekosistem hutan akibat perusakan oleh manusia, dampak pemanasan global, dan dampak pestisida.

     Di Jawa Barat, Elang Jawa hanya terdapat di Gunung Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan Gunung Halimun. Di Jawa Tengah Elang Jawa terdapat di Gunung Slamet, Gunung Ungaran, Gunung Muria, Gunung Lawu, dan Gunung Merapi, sedangkan di Jawa Timur terdapat di Merubetiri, Baluran, Alas Purwo, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, dan Wilis. UPDATE Nama latin untuk elang jawa kini resminya telah berganti dari Spizaetus bartelsi menjadi Nisaetus bartelsi. Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo: Falconiformes; Famili: Accipitridae; Genus: Nisaetus; Spesies: Nisaetus bartelsi. Nama latin: Nisaetus bartelsi. Sinonim: Spizaetus bartelsi.

Menengok Taman Nasional Ujung Kulon, Sisa Hutan Hujan Tropis di Pulau Jawa

Jakarta - Taman Nasional Ujung Kulon merupakan cagar alam yang menyimpan banyak keanekaragaman flora dan fauna. Terletak di kawasan paling barat pulau Jawa, Ujung Kulon juga dikenal sebagai habitat alami badak jawa yang saat ini dikenal sebagai satu dari 10 satwa yang sedang diambang kepunahan.


Taman Nasional Ujung Kulon merupakan sebuah kawasan hutan lindung dengan luas 122.956 hektar yang termasuk ke dalam wilayah privinsi Banten. Dari 122 ribuan kawasan Ujung Kulon, 32 ribu hektar merupakan habitat tetap badak jawa.


Selain menjadi habitat bagi badak jawa, Ujung Kulon merupakan hutan hujan tropis yang masih tersisa di Pulau Jawa. Ujung Kulon saat ini juga dikenal sebagai situs warisan alam dunia oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO).


Berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di sebelah selatan, bukan tak mungkin kawasan tersebut suatu saat nanti dapat menjadi sebuah objek wisata bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam habitat alami hewan bercula satu tersebut. Saat ini hanya peneliti atau pengunjung dengan izin khusus yang bisa masuk.


Namun, apabila melihat peta di sebelah barat Ujung Kulon terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Peucang. Pulau tersebut saat ini yang sedang dikembangkan untuk menarik para wisatawan regional maupun internasional untuk berkunjung ke Ujung Kulon. 


Kembali ke TN Ujung Kulon, kawasan konservasi ini merupakan habitat badak Jawa dan salah satu spesies yang terancam punah. Saat ini populasi badak Jawa di seluruh dunia hanya 60 ekor dan hanya terdapat di Ujung Kulon. Oleh karena itu, saat ini Taman Nasional Ujung Kulon mempunyai misi menjadi breeding stock (sumber makanan) serta tempat tinggal bagi badak jawa.


Sejak tahun 1967, konservasi serta penelitian untuk perlindungan badak jawa telah dilakukan oleh peneliti serta pemerhati lingkungan di kawasan Ujung Kulon. Beberapa hal yang telah dilakukan adalah memasang 120 video trap di setiap pohon di kawasan Ujung Kulon untuk mengamati gerak gerik serta keseharian badak jawa untuk meneliti gaya hidup mereka.


Selain itu untuk mengantisipasi berkurangnya habitat saat ini pengelola taman nasional yang dibantu oleh NGO lingkungan seperti World Wildlife Fund (WWF), juga berencana untuk mencari second habitat bagi satwa ini. Sekitar 5 ribu hektar lahan baru di beberapa titik cagar alam serta hutan lindung di Banten sedang diteliti dan disurvei oleh para ahli untuk menemukan habitat baru bagi hewan ini.



Menengok Taman Nasional Ujung Kulon, Sisa Hutan Hujan Tropis di Pulau Jawa


Menengok Taman Nasional Ujung Kulon, Sisa Hutan Hujan Tropis di Pulau Jawa

Menengok Taman Nasional Ujung Kulon, Sisa Hutan Hujan Tropis di Pulau Jawa

SISA HUTAN YANG ADA DI INDONESIA

Google Earth Tunjukkan Wajah Menyedihkan Hutan Indonesia
Menurut peta itu, Indonesia punya kenaikan laju deforestasi terbesar di dunia.

Peta sisa tutupan hutan Indonesia via Google Earth, sebagaimana diteliti oleh University of Maryland. (Google Earth)

Peta resolusi tinggi tentang hilang dan bertambahnya lahan hutan di dunia telah dibuat oleh Google Earth. Peta interaktif tersebut tersedia untuk publik dan bisa diperbesar hingga resolusi yang sangat mengagumkan, 30 meter.

Peta Google Earth menyuguhkan perubahan pada tajuk hutan selama 2000 hingga 2012 berdasarkan 650.000 citra yang ditangkap oleh satelit Landsat 7. Selama periode itu, peta mengungkap bahwa Bumi kehilangan hutan sebesar wilayah Mongolia, atau 6 kali luas wilayah Inggris.

Tercatat, total kehilangan lahan hutan di Bumi adalah 2,3 miliar kilometer persegi. Lahan hutan hilang karena pembabatan, api, badai, serta penyakit.

"Ini adalah peta pertama perubahan hutan yang konsisten secara global dan revelan secara lokal," kata Matthews Hansen, pimpinan proyek pengembangan peta, dari University of Maryland.

"Sesuatu yang harus dilakukan selama 15 tahun dengan satu komputer bisa diselesaikan selama beberapa hari dengan komputasi Google Earth Engine," imbuhnya seperti dikutipBBC, Kamis (14/11).

Menurut peta itu, Indonesia punya kenaikan laju deforestasi terbesar di dunia. Jumlah hutan yang hilang antara 2011-2012 hampir 20.000 kilometer persegi. Wilayah Indonesia yang hutannya banyak hilang adalah Sumatra dan Kalimantan. Hilangnya hutan di Jawa antara 2000-2012 memang tak tampak, tetapi itu karena memang hutan di Jawa sudah banyak berkurang pada periode jauh sebelumnya.

Di sisi lain, tampak bahwa hilangnya hutan mulai tampak di wilayah Sulawesi bagian barat. Daerah Papua memang masih hijau, tetapi ada titik-titik merah yang menunjukkan sudah dimulainya aktivitas membabat hutan.

Selain Indonesia, negara yang tingkat berkurang lahan hutannya tinggi adalah Malaysia, Paraguay, dan Kamboja.

Sementara itu, secara global, Brasil adalah negara yang paling menunjukkan perbaikan. Secara global, hilangnya hutan hujan tropis meningkat sekitar 2.100 kilometer persegi per tahunnya.

Peta ini berguna untuk membangun kesadaran publik akan banyaknya perusakan hutan dan konsekuensinya. Peta juga berguna bagi para pegiat konservasi untuk terus memonitor hutan.

(Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com)

METEDOLOGI ILMIAH RANCANGAN PENELITIAN


METEDOLOGI ILMIAH
RANCANGAN PENELITIAN


 




DISUSUN OLEH : PUTU HARDIKUSUMA
NIM        : 26020111140098


PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015






FENOMENA PLASTISITY PADA MIGRASI IKAN SIDAT (Anguilla sp.)

Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama proses migrasi. Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh perubahan morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. ada ikan sidat perubahan morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver eel, meliputi pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu. Sedangkan perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan atau perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang memiliki karakter fisika dan kimia berbeda.
Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang dialami oleh ikan sidat selama proses migrasi, baik perubahan morfologi maupun perubahan fisika.
Ø Adaptasi Morfologi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur organisme, tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan hidup) sehingga bisa berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai macam strategi beradaptasi terhadap morfologinya. Di antara adaptasi morfologi yang ada pada ikan sidat adalah bentuk badan, warna kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan lain-lain. Adaptasi bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini sangat penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif ( pasif transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai upaya adaptasi terhadap serangan predator.
Pada saat memasuki perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat memasuki muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang dalam lumpur. Di samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu ikan sidat bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan predator.
Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pada tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan, sehingga memudahkan larva mengindar dari serangan preda- tor. Seiring dengan pertambahan ukuran badan pigmen ikan sidat mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan ikan akan semakin terang untuk mengikat pasangan.
Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap getaran terutama di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini sangat membantu ikan sidat dalam bergerak karena kemampuan penglihatannya kurang baik. Di samping itu, ikan sidat juga memiliki organ penciuman yang sangat baik untuk membantu mengatasi kelemahan penglihatannya.
Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-lamela yang ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk mengambil oksigen langsung dari udara, selain oksigen yang terlarut dalam air. Untuk mempertahankan kelembaban dalam rongga branchial, sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa organ yang sangat kecil terletak di bagian belakang kepala dan sangat sulit dilihat (Tesch, 2003).
Mata ikan sidat akan beradaptasi saat memasukan perairan laut dalam. Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat kali lipat ukuran normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan kemampuan melihat karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap. Pankhrust (1982) menyatakan pada saat memasuki perairan laut dalam komposisi sel retina akan mengalami perubahan, menyesuaikan intensitas cahaya.
Ø Adaptasi Fisiologi
Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan bermigrasi dari perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar 3.000 km terjadi perubahan pada badan yaitu diameter mata membesar. Pankhrust (1982) menyatakan bahwa membesarnya mata saat memijah mencapai empat kali dari sebelumnya. Selain mata, perubahan badan lainnya ketika akan memijah antara lain warna sirip pektoral yang makin gelap, perubahan komposisi sel pada retina, perubahan warna badan menjadi silver, sisik membesar, dermis menebal, densitas sel mukus meningkat terutama pada betina, bentuk kepala agak pipih, adanya peningkatan panjang dan diameter kapiler pada gelembung renang, peningkatan aktivitas Na+/K+-ATP ase pada insang, usus mengalami peningkatan bobot namun jumlah lipatannya menurun, serat otot tonus meningkat, penumpukan glikogen dalam hati dan lain- lain. Mekanisme perubahan badan tersebut banyak melibatkan hormon-hormon dalam badan, karena perubahan lingkungan akan mempengaruhi hipotalamus, yang seterusnya mempengaruhi hipofisa dan organ-organ target di bawahnya.
Menurut Tesch (1977), perkembangan gonad sidat terbagi menjadi delapan tingkatan mulai dari gonad berbentuk benang tipis hingga berupa pita berwarna putih. Scott (1979) mengemukakan faktor lingkungan yang dominan yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu, pakan, periode cahaya, dan musim.
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap determinasi kelamin. Pada keadaan temperatur sedang (20°C–23°C) akan menghasilkan lebih banyak jantan sedangkan pada temperatur rendah dan tinggi akan didominasi oleh betina. Perkembangan gonad sangat terkait dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak makan sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Kondisi malnutrisi ini dapat mempengaruhi fungsi hipofisis gonadotropin yang berakibat pada penghambatan pertumbuhan gonad. Pada kondisi ini ikan akan memanfaatkan energi yang ada dalam badan untuk maintenance dan perkembangan gonad. Simpanan energi dalam badan ikan berasal dari konsumsi pakan dengan kadar lemak tinggi.
Periode pencahayaan dan musim sangat berpengaruh pada kematangan gonad ikan sidat sub tropis. Untuk spesies tropik musim hujan dan banjir sangat mempengaruhi kematangan gonad hal ini disebabkan oleh perubahan konsentrasi garam-garam dalam air, dan pasokan pakan akibat banjir akan memacu perkembangan gonad. Querat et al. (1987) menduga bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang dapat menginduksi kematangan gonad pada sidat, dengan cara menstimulasi ekskresi estradiol 17. Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap perkembangan gonad ikan sidat telah diteliti oleh Herianti (2005) dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa cahaya dan salinitas mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih tinggi berkaitan
Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat menghadapi kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Pada kondisi “ apnoea”, yaitu keadaan di mana otot-otot pernafasan dan alat pernafasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekurangan oksigen). Ikan sidat mampu bernafas melalui permukaan kulit dan pada kondisi tertentu insang ikan sidat juga mampu mengambil oksigen langsung dari udara (Tesch, 2003).
Sidat berukuran 100 g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi ( hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100 g diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100–300 g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Ikan sidat mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu hal ini disebabkan karena secara alami ikan yang melakukan aktivitas migrasi memiliki toleransi yang luas terhadap suhu dan salinitas. Daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran badan ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla australis mampu hidup pada suhu 28°C, elver 30,5°C–38,1°C dan sidat dewasa 39,7°C. Ikan sidat tropis ( A. bicolor, A. marmorata ) kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. austra- lis .
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar.
Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respons ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang bermetamorfosa ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme


METEDOLOGI ILMIAH RANCANGAN PENELITIAN


METEDOLOGI ILMIAH
RANCANGAN PENELITIAN


 
  


DISUSUN OLEH : PUTU HARDIKUSUMA
     NIM : 26020111140098 


PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015





Pembangunan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup




A.   UMUM

Langkah-langkah pengarusutamaan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan bagi seluruh sektor ditempuh dalam setiap kebijakan pembangunan dalam rangka menciptakan terjaminnya keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup di masa mendatang. Dalam Propenas 2000-2004, pembangunan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta keserasian penataan ruang dalam upaya terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.

Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu modal utama untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Telah dipahami bersama bahwa ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik merupakan pendukung kesinambungan pembangunan saat ini dan pembangunan di masa yang akan datang. Walaupun dirasakan telah banyak upaya yang dilakukan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, masih banyak permasalahan yang belum dapat diatasi secara menyeluruh. Beberapa permasalahan pokok tersebut antara lain adalah masih rendahnya pemahaman akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkesinambungan dan dibarengi pula dengan lemahnya penegakan hukum sehingga menyebabkan tekanan yang berlebihan terhadap fungsi lingkungan hidup, bahkan sampai mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Keadaan tersebut dapat dilihat dari tingginya tingkat kerusakan hutan dan lahan sebesar 1,6 juta hektar per tahun, akibat semakin maraknya pencurian hasil hutan, terutama kayu, selain juga penambangan yang tidak memiliki izin. Hal lain berupa kerusakan di kawasan laut yang disebabkan oleh pencurian hasil laut yang dapat mengancam keberlanjutan dan kelestarian sumber daya laut terutama berbagai jenis ikan, terumbu karang dan biota laut lainnya. Permasalahan pokok lain yang dihadapi adalah masih tingginya tingkat pencemaran lingkungan hidup akibat belum dipatuhinya peraturan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Misalnya, belum dipatuhinya peraturan perihal limbah buangan seperti dapat dilihat dari masih tingginya pencemaran sungai dan laut oleh limbah industri dan rumah tangga, tingginya pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor di perkotaan, serta belum optimalnya pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Dalam rangka meningkatkan efektivitas kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam, dilakukan beberapa kegiatan antara lain pengkajian kembali kebijakan pengelolaan kawasan hutan produksi, kawasan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam, penyusunan kebijakan pengelolaan dan pengembangan keanekaragaman hayati, pengembangan jasa lingkungan dan jasa pariwisata yang berwawasan lingkungan pada kawasan ekosistem khas di beberapa taman nasional dan kawasan hutan lainnya yang potensial, pengembangan dan penerapan teknologi baru dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ramah lingkungan, penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta peningkatan kesadaran konservasi dan rehabilitasi bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Untuk mengurangi dampak yang berlebihan dalam pengelolaan sumber daya hutan telah dilakukan upaya penyelesaian terhadap lima masalah pokok di bidang kehutanan yaitu pencegahan penebangan hutan secara ilegal, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi kewenangan pengelolaan kehutanan. Upaya-upaya tersebut sampai saat ini masih terus dijalankan dan lebih diintensifkan, dengan hasil kemajuan yang bervariasi. Misalnya dalam menangani penebangan liar telah dilakukan penggalangan berbagai pihak baik melalui kampanye anti illegal logging maupun operasi-operasi penegakan hukum di lapangan. Kemudian untuk mengatasi masalah kebakaran hutan telah dibuat dan disebarkan peta identifikasi kawasan hutan yang rawan terbakar serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan untuk mengendalikan kebakaran hutan. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi telah dilakukan pengalihan kewenangan dan urusan kehutanan secara bertahap kepada pemerintah daerah sehingga pengawasan oleh masyarakat luas dapat lebih efektif. Hal ini juga didukung dengan penerapan pengelolaan hutan berbasis masyarakat baik dalam bentuk pengelolaan hutan kemasyarakatan maupun hutan rakyat. Disamping itu, beberapa kabupaten telah menerbitkan peraturan daerah tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai perwujudan pengelolaan sumber daya alam yang partisipatif.

Dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, telah dilaksanakan identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, identifikasi kawasan konservasi laut, pembudidayaan mangrove fisheries dan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk mengurangi kerugian negara akibat kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) telah dilakukan berbagai upaya antara lain dengan pembenahan administrasi perijinan penangkapan ikan, pemantauan dan pengontrolan kapal-kapal besar penangkap ikan baik yang beroperasi di perairan Indonesia maupun di kawasan ZEE melalui sistem vessel monitoring system (VMS) yang merupakan bagian dari penerapan sistem monitoring, controlling and surveillance (MCS). Penerapan sistem ini didukung dengan pengembangan sarana dan prasarana dan operasi pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS).         
Kegiatan yang berkaitan langsung dengan peningkatan ketersediaan, konservasi dan pemulihan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup mencakup peningkatan akses informasi, efektifitas pengelolaan serta konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam maupun pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, penataan kelembagaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk sektor pertambangan. Untuk mendukung peningkatan akses informasi masih dilakukan inventarisasi geologi dan sumberdaya mineral, pengkajian neraca energi dan mineral serta sistem informasi geografi.

Mewujudkan kondisi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkesinambungan bukanlah merupakan hal yang mudah antara lain karena upaya pencegahan eksploitasi berlebihan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup terhambat dengan pelaksanaan penegakan hukum yang lemah. Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini belum ada kasus perusakan lingkungan yang telah mendapat penanganan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Hambatan lain yang dirasakan adalah masih adanya tumpang tindih kewenangan pengelolaan sumber daya alam pada sektor-sektor yang saling berkaitan, serta masih adanya tarik ulur kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemahaman untuk memperoleh keuntungan finansial dalam jangka pendek yang masih melekat pada beberapa pemerintah daerah, tanpa memperhatikan “harga” yang harus dibayar dalam jangka panjang akibat kerusakan lingkungan juga merupakan hambatan di dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Di sisi lain terdapat beberapa faktor yang mendukung pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup diantaranya adalah meningkatnya perhatian terhadap pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan yang dimotori oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan adanya beberapa negara maju yang karena tertarik untuk melakukan kerjasama dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan melihat Indonesia masih berpotensi sebagai “penyangga” terhadap kerusakan lingkungan global. Untuk melindungi aset nasional yaitu manusia Indonesia dan potensi ekonominya, maka pemahaman akan kendala alam berupa bencana alam harus dilakukan identifikasi dan pemetaan daerah-daerah berpotensi bencana gunung api, gempa bumi, tanah longsor dan banjir. Informasi ini harus dijadikan acuan sebagai perencanaan tata ruang.

Untuk mewujudkan visi jangka panjang pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, banyak hal sudah dilaksanakan namun masih memerlukan tindak lanjut yang terkoordinasi. Secara umum, beberapa kegiatan yang selama ini telah dilakukan dan masih dalam proses pelaksanaan untuk mendukung tercapainya pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan adalah penyusunan neraca sumber daya alam dan neraca lingkungan, pengkajian penerapan Produk Domestik Bruto Hijau, penerapan model pajak lingkungan (green tax), penyiapan rencana undang-undang pengelolaan sumber daya alam, pengkajian skema pendanaan melalui Debt-for-Nature Swap (DNS) dan Clean Development Mechanism (CDM), serta pengembangan peran serta masyarakat dalam pengelolaan, pengawasan dan pemantauan sumber daya alam. Tindak lanjut yang diperlukan pada masa mendatang adalah peningkatan koordinasi secara lebih intensif antarsektor yang berkaitan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Koordinasi tersebut harus diwujudkan dalam suatu aksi nyata, misalnya dengan memasukkan prinsip, pertimbangan, perangkat, unsur dan baku mutu lingkungan dalam penetapan tata ruang dan pengelolaan wilayah atau kota, seperti reservoir, hutan kota, catchment area dan sebagainya.


B.   Program-Program Pembangunan

1.    Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

a.    Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi, evaluasi, valuasi, dan penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup berupa data spasial, nilai, dan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah. Kebijakan program diarahkan untuk: (1) mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi, dan (2) mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris, sehingga mampu melakukan kompetisi dan mengembangkan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat.

b.      Pelaksanaan

i.     Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai pada tahun 2001 adalah pengembangan sistem informasi manajemen AMDAL agar dapat diakses oleh masyarakat umum dalam rangka sosialisasi berbagai kegiatan sektor pembangunan untuk Provinsi Jateng, Jabar, Bali, Jambi, Sulteng, Papua, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel. Selain itu telah dilakukan pula pengembangan website, serta penerbitan majalah lingkungan SERASI sebagai salah satu pelaksanaan dari Agenda 21. Juga telah disusun State of Environment Report tahun 2000, yang melaporkan status lingkungan hidup Indonesia. Seiring dengan itu, sedang ditempuh pengembangan Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah. Sementara itu, dalam pengelolaan pengaduan masyarakat telah dibentuk jaringan elektronik (web) “layanan pengaduan” mengenai masalah lingkungan hidup. Di bidang kehutanan dan sumber daya air, pengembangan dan peningkatan akses informasi ini ditempuh melalui valuasi potensi sumber daya hutan, air, laut, dan mineral. Selain itu, juga telah dilakukan kegiatan untuk pendataan ekosistem rentan kerusakan, serta pengkajian neraca sumber daya alam dan penyusunan PDB hijau secara bertahap, inventarisasi informasi potensi kawasan dan jenis hasil laut potensial, inventarisasi sumber daya wilayah pesisir, lautan, pulau-pulau kecil dan perikanan, serta produk dan jasa maritim. Selain itu, juga telah dilakukan sosialisasi pemanfaatan peta fishing ground dan terlaksananya fish stock assessment. Selanjutnya, untuk memudahkan masyarakat untuk mengakses data dan informasi telah dilakukan kegiatan melalui peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup kepada masyarakat. Kegiatan inventarisasi kekayaan sumber daya mineral dilakukan melalui penyusunan berbagai macam peta antara lain peta geologi dan geofisika, penyusunan basis data sumber daya mineral dan batubara, serta pelaksanaan beberapa kegiatan pemetaan dan kajian geologi.

Pada tahun 2002 kegiatan yang telah dilakukan adalah penyediaan data pertambangan rakyat dan pertambangan tanpa ijin (PETI), penginventarisasian data sumber daya air, dan penetapan peta cekungan air tanah sebagai basis pengelolaan dan pengusahaannya, sosial ekonomi, dan spasial sumber daya alam. Untuk menjaga keanekaragaman hayati nasional pada tahun tersebut, dilakukan penyusunan konsep mekanisme balai kliring keanekaragaman hayati. Sementara itu, perhitungan neraca sumber daya alam dilakukan dengan uji coba penilaian manfaatnya, serta tersusunnya neraca sumber daya mineral dan batubara. Kegiatan lain yang dilakukan adalah melanjutkan inventarisasi sumber daya mineral dengan pemetaan geologi kelautan sistemik, mengkaji cekungan Sumatera Selatan dan Kutai, menginventarisasi mineral logam dan non logam, serta menginventarisasi potensi batubara dan gambut. Dalam rangka memudahkan masyarakat melakukan akses informasi sumber daya mineral dan pertambangan, telah disusun pedoman sistem manajemen lingkungan dan pedoman penilaian pengelolaan lingkungan sektor energi dan sumber daya mineral.
Pada tahun 2003 hasil yang telah dicapai adalah dilakukannya pemutakhiran data sumber daya alam dan lingkungan hidup, termasuk inventarisasi potensi tambahan satwa liar, penyediaan data potensi pasir laut di Kepulauan Riau, penyediaan data potensi panas bumi, dan energi terbarukan, serta peta geologi lingkungan dan konservasi air tanah. Pada tahun ini juga dilakukan pemetaan geologi kelautan bersistem untuk daerah Kalimantan dan Sulawesi. Untuk penyempurnaan neraca sumber daya alam, telah dilakukan uji coba dan perbaikan serta pemutakhiran data, demikian pula untuk neraca energi, neraca sumber daya mineral dan batubara serta neraca kependudukan. Untuk menunjang pengembangan kelautan, telah dilakukan pendataan potensi sumber daya ikan laut, penyusunan profil beberapa pulau-pulau kecil, serta pengkompilasian data geologi kelautan kawasan pesisir, profil wilayah pesisir dan kelautan di 15 daerah propinsi dan Kabupaten/Kota.

Pada tahun 2004 telah teridentifikasi beberapa lokasi sebagai habitat penting untuk spesies dilindungi. Pengumpulan data/informasi untuk penyusunan national report dalam rangka konvensi wetland. Pada tahun ini telah dilakukan pengembangan informasi daerah penangkapan ikan secara reguler melalui Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan di daerah, kepada para nelayan, koperasi dan pengusaha ikan. Selain itu juga telah dilakukan pengembangan Sistem Informasi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Terpadu (SIKPT) melalui pembentukan dan koordinasi simpul-simpul SIKPT, dan penyusunan data spasial sumber daya kelautan. Dalam kegiatan pemetaan dan penyelidikan geologi kelautan dilakukan kegiatan penyelidikan geologi kelautan di Paparan Sunda, sebagian perairan selat Malaka dan Riau, Kalimantan Barat dan perairan Kalimantan Timur. Pada tahun ini juga dilakukan penyebarluasan informasi potensi sumber daya mineral, batubara, gambut, bitumen padat, panas bumi, gunung api dan air bawah tanah. Selain itu akan diselesaikan pula pemetaan geologi dan geofisika, serta kegiatan penelitian dan pengembangan geologi dan geofisika bidang kebencanaan geologi. Peningkatan kemampuan teknologi pemantauan gunung api terus dilakukan untuk melengkapi kebutuhan standar. Demikian pula Blue Print mitigasi bencana gunung api telah disusun sebagai dasar perencanaan sistem mitigasi gunung api nasional. Peningkatan kesadaran masyarakat dan Pemerintah daerah terus dilakukan melalui sosialisasi kebijakan dan potensi bencana geologi di Indonesia dan penanggulangannya.


ii.    Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan program ini adalah keterbatasan teknologi informasi sehingga menyebabkan sumber daya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Pada sektor kelautan masih dihadapi keterbatasan infrastruktur dan akses pemanfaatan data, serta kurangnya penguasaan masyarakat nelayan akan teknologi informasi. Data dan informasi tentang kelautan dan perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan. Hal ini telah menimbulkan kesulitan untuk mengakses data/informasi tersebut guna menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Beberapa faktor penghambat pencapaian indikator kinerja program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah: (1) masih lemahnya keterkaitan dan struktur kelembagaan yang berwenang dengan pengelolaan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dimana setiap lembaga berlomba untuk membangun sistem informasi sendiri-sendiri akan tetapi tidak terintegrasi; (2) kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola informasi masih kurang memadai, dan adanya anggapan bahwa pekerjaan mengelola informasi kurang menarik; dan (3) rendahnya kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan pemutakhiran (updating) data dan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.

iii.   Tindak Lanjut

Untuk menghadapi permasalahan dan tantangan yang menghambat upaya pencapaian indikator kinerja program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, diusulkan beberapa rekomendasi dan tindak lanjut antara lain sebagai berikut: (1) melakukan sinkronisasi program dan kegiatan pembakuan informasi dan data pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (2) meningkatkan dan mengintensifkan pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik formal maupun informal untuk menambah wawasan pengetahuan pengelolaan sistem informasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara efektif; (3) meningkatkan pengadaan sarana dan prasarana serta teknologi informasi di setiap sektor yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (4) meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut mengelola dan sebagai sumber informasi yang lebih akurat dalam setiap proses pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (5) mengembangkan sistem informasi yang dapat diakses masyarakat secara mudah, murah, dan bermanfaat; dan (6) meningkatkan lembaga penyuluh sebagai sarana penyampaian informasi yang mampu memberikan pemahaman akan arti pentingnya nilai kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.


2.    Program Peningkatan Efektivitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam

a.   Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain dari program ini adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif. Kebijakan program ini diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan sumber daya alam dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.



b.   Pelaksanaan

i.     Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai pada tahun 2001 adalah antara lain tersedianya rencana dan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan dan air berdasarkan daerah aliran sungai (DAS) prioritas dan tata ruang, tersusunnya management plan keanekaragaman hayati, meningkatnya industri yang berbasis sumber daya alam yang ramah lingkungan, serta tersusunnya strategi nasional pengelolaan kawasan ekosistem pegunungan. Selain itu dilakukan pula penataan kegiatan di bidang perikanan, pengelolaan laut termasuk wilayah pesisir dan terumbu karang, serta pengkajian struktur industri yang sesuai dengan potensi dan daya dukung sumber daya alam. Dalam hal kegiatan konservasi telah dilaksanakan antara lain identifikasi terhadap kawasan konservasi laut daerah; terciptanya sistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan, pesisir, dan lautan; dan penyusunan rencana pengelolaan keanekaragaman hayati. Selain itu dilakukan pula sosialisasi program perlindungan lapisan ozon. Sedangkan pelaksanaan program rehabilitasi antara lain dilakukan penyusunan draft akademis kriteria baku kerusakan mangrove dan pengkajian permodelan reklamasi lahan bekas tambang. Selain itu di bidang kehutanan dilakukan pula pengelolaan sumber daya hutan dan sumber daya air dengan pendekatan DAS dan tata ruang. Di samping itu, dalam rangka menurunkan luas lahan kritis pada wilayah hutan dan pesisir antara lain telah dilakukan pembentukan institusi kerjasama pengelolaan kawasan Segara Anakan berdasarkan Perda Kabupaten Cilacap Nomor 28 Tahun 2000 tentang pengelolaan kawasan Segara Anakan.

Adapun hasil yang dicapai dalam tahun 2002 antara lain adalah penyusunan strategi nasional pengelolaan kawasan ekosistem pegunungan, penyempurnaan kajian kebijakan pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam, serta penyusunan peta potensi konflik di bidang pertambangan dan kehutanan. Adapun kegiatan rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan permodelan reklamasi lahan bekas tambang, penghijauan dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, wilayah pesisir, dan lahan bekas tambang. Dalam hal konservasi dilakukan antara lain peningkatan kesadaran konservasi dan pelestarian lingkungan hidup pada stakeholder di daerah, sosialisasi kebijakan dan strategi pengelolaan DAS Bengawan Solo dalam rangka implementasi otonomi daerah. Di samping itu juga dilakukan kegiatan konservasi tanah seluas 6.152 ha di kawasan DAS Citarik dengan hasil penurunan laju erosi yang cukup signifikan. 

Pada tahun 2003 untuk meningkatkan kemampuan telah dilakukan kerjasama dengan beberapa lembaga untuk mengelola kekayaan laut Indonesia antara lain dengan BILB-Jerman dan CEVA-Perancis dalam rangka pengelolaan rumput laut, serta kerjasama penangkapan ikan dengan RRC, Thailand, dan Filipina. Selain itu dilakukan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu. Dalam konservasi dan rehabilitasi telah dilakukan perluasan rehabilitasi hutan, terumbu karang di beberapa lokasi, serta penetapan Pulau Kakaban di Kalimantan Timur sebagai kawasan konservasi laut. Selain itu dilakukan pula persiapan Pulau Banda sebagai warisan dunia (world heritage site), dan telah pula dilakukan kegiatan kajian lingkungan dan kebencanaan geologi kelautan di kawasan pesisir dan laut. Di samping itu dalam rangka menurunkan luas lahan kritis dan kelestarian hutan, telah dilakukan rehabilitasi mangrove seluas 1.125 ha di wilayah Segara Anakan, penghijauan di wilayah DAS Cikawung dan Cimeneng, serta pencanangan Gerakan Nasional Rehabilitai Hutan dan lahan kritis seluas 300.000 ha.

Pada tahun 2004, telah ditingkatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan; peningkatan pendapatan/ kesejahteraan masyarakat; terbentuknya organisasi pencinta alam; meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai arti penting reboisasi, penghijauan, pembangunan kota dan konservasi tanah. Selain itu, telah pula dilakukan pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang termasuk penanaman terumbu buatan, pengembangan Taman Nasional Laut dan Kawasan Konservasi Laut, penginventarisasian kawasan konservasi laut baru dengan menggunakan pendekatan kesatuan ekosistem laut (marine region). Selanjutnya telah dilakukan pengembangan sistem budaya ramah lingkungan di kawasan hijau yang mengalami kerusakan melalui mangrove-fisheries, pengembangan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Selain itu dilakukan kegiatan untuk menetapkan kawasan lindung geologi dan kawasan pertambangan.

ii.    Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang masih muncul dalam mewujudkan pelaksanaan program ini antara lain : (1) masih rendahnya kesadaran masyarakat akan arti penting dan nilai strategis sumber daya kelautan dan perikanan; (2) lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, baik perikanan, kehutanan, maupun pertambangan; (3) belum kondusifnya upaya pelaksanaan penataan ruang serta pengendalian pencemaran lingkungan pada ekosistem laut dan pesisir, kawasan kehutanan dan wilayah pertambangan; dan (4) masih timpangnya pemanfaatan stok ikan antarwilayah dan antarspesies; (5) pengembangan perikanan budidaya belum optimal; dan (6) belum optimalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil. Hal lain yang menjadi hambatan dalam pencapaian indikator kinerja program ini adalah masih lemahnya koordinasi dan struktur kelembagaan, masih lemahnya sumber daya manusia, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemeliharaan ekosistem dan sumber daya alam pada umumnya. Disamping itu masih ada perbedaan kepentingan di dalam memanfaatkan sumber daya alam seperti pemanfaatan hutan dan pertambangan, serta ketidakstabilan politik, dan keamanan sehingga menyulitkan pelaksanaan beberapa kegiatan dalam program ini pada daerah yang termasuk dalam kategori rawan dari segi keamanan.

iii.   Tindak Lanjut

Berdasarkan pencapaian indikator kinerja hingga pertengahan tahun 2004, tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah: (1) mensosialisasikan berbagai pedoman dan peraturan kebijakan yang telah tersusun; (2) mengembangkan mekanisme pelaksanaan dan pemantauan pedoman dan peraturan yang telah tersusun; (3) menyempurnakan sistem disinsentif dalam pemanfaatan sumber daya alam; (4) memantapkan upaya konservasi daratan maupun perairan melalui pembangunan wilayah terpadu dengan melibatkan partisipasi masyarakat; (5) mengembangkan teknologi baru penggunaan sumber daya alam yang ramah lingkungan; (6) menyempurnakan mekanisme perlindungan dan pemeliharaan kawasan konservasi dengan melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, dan swasta; (7) melanjutkan upaya restrukturisasi industri berbasis sumber daya alam yang komparatif dan dapat menjamin keberlanjutan daya dukungnya; dan (8) mengembangkan lebih lanjut jasa pariwisata di daerah.

Rekomendasi dan tindak lanjut lainnya adalah: (1) pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan-kawasan konservasi darat dan laut, pengembangan kawasan konservasi laut dan suaka perikanan; (2) pelaksanaan monitoring kegiatan pengembangan, pengelolaan, dan pembinaan obyek wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan; (3) pengawasan kegiatan kampanye penanaman pohon untuk kehidupan dengan baik dan mengena sasaran serta gerakan penanaman pohon di 30 propinsi; dan (4) melanjutkan kegiatan sesuai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam kegiatan peningkatan kualitas pengelolaan DAS serta efektifitas dan efisiensi rehabilitasi lahan terdegradasi.


3.    Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup

a.   Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Tujuan program adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran lingkungan, dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Sedangkan kebijakan program diarahkan untuk menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan sumber daya alam yang dapat diperbaharui guna menghindari kerusakan yang tidak dapat dipulihkan kembali.

b.   Pelaksanaan

i.     Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai pada tahun 2001 adalah telah dilakukannya investasi peralatan yang menunjang pencegahan pencemaran lingkungan. Guna memacu industri agar peduli lingkungan, telah diberikan sistem insentif pinjaman lunak lingkungan kepada 23 perusahaan. Untuk pencegahan pencemaran air, telah dilakukan koordinasi untuk menyusun Rencana Induk Program Kali Bersih (PROKASIH) 2005, masukan revisi PP Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Berkenaan dengan limbah perkotaan telah dilakukan penyempurnaan konsep Pedoman Umum dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Evaluasi Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan. Sementara itu, pada saat ini sedang dilakukan pula penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Dalam rangka pencegahan kerusakan lingkungan akibat bencana lingkungan telah dilaksanakan beberapa kegiatan antara lain: (1) kajian akademik pengembangan sistem pengendalian bencana lingkungan; (2) penyusunan PP Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau pencemaran LH yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; (3) rancangan kebijakan nasional penerapan sistem tanggap darurat pada kegiatan yang berisiko mengakibatkan bencana lingkungan. Berkenaan dengan pencemaran keanekaragaman hayati telah disusun beberapa pedoman: (1) pedoman teknis pengendalian pemanfaatan spesies hasil rekayasa genetik; (2) pedoman teknis pengendalian dan pemulihan kerusakan ekosistem strategis; (3) pedoman teknis pengendalian penurunan dan pemulihan populasi Elang Jawa, Buaya, Rusa, Cendana, dan Tengkawang. Selain itu, telah pula dilakukan penyusunan Amdal untuk kegiatan Migas yang memiliki pelabuhan khusus.

Adapun pada tahun 2002 telah dilakukan sosialisasi teknologi ramah lingkungan bagi usaha kecil, penyediaan desain rehabilitasi pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) usaha kecil di lokasi prioritas, penyusunan pedoman umum pengelolaan limbah rumah sakit dan hotel. Selain itu telah dilakukan pula penyusunan standar baku mutu untuk limbah industri pupuk, pewarna tekstil, kolam pelabuhan, dan air laut untuk pariwisata. Pada tahun ini telah dilakukan pula penelitian pengelolaan limbah produksi migas.
Pada tahun 2003 berkaitan dengan penanganan limbah telah dilakukan kegiatan penyusunan berbagai pedoman antara lain: (1) pedoman teknis baku mutu limbah cair industri rayon; (2) pedoman pengelolaan limbah produksi minyak dan gas bumi; dan (3) pedoman penanganan limbah industri kimia, serta rumah sakit dan hotel. Selain itu untuk dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran perusahaan dalam pengelolaan limbahnya, telah dilaksanakan kegiatan sosialisasi pada beberapa lokasi penambangan dan kehutanan perihal teknologi produksi bersih. Dalam rangka mengurangi pencemaran lingkungan kawasan pesisir dan laut dilakukan gerakan nasional bersih pantai dan laut. Di samping itu, dalam rangka mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup telah disusun pedoman standar nasional audit lingkungan hidup Pemerintah daerah.

Pada tahun 2004, direncanakan untuk mencapai penurunan pencurian ikan, pengembangan pedoman dan model pengendalian pencemaran pesisir dan laut, dan pensosialisasian pedoman di Unit Pelaksana Teknis, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (UPT PHKA). Selain itu, telah dilakukan juga upaya menurunkan tingkat kebakaran hutan, serta penanggulangan kegiatan ilegal di sektor pertambangan yaitu pertambangan tanpa izin (PETI), dan penyelundupan BBM. Selain itu telah pula dilakukan lanjutan kegiatan penelitian dan pengembangan kualitas lingkungan pada industri dan kegiatan operasi minyak dan gas bumi.

ii.    Permasalahan dan Tantangan

Saat ini masih dijumpai adanya perbedaan kepentingan antara peningkatkan perekonomian daerah melalui peningkatan industri dan kepentingan untuk menjaga daya dukung lingkungan yang telah mengakibatkan penambahan kerusakan lingkungan. Masalah lain yang menghambat adalah kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat yang masih rendah, terlihat dengan masih adanya upaya penguasaan lahan hutan secara tidak sah dan illegal logging, PETI, dan pencurian ikan. Rendahnya kesadaran hukum ini ditambah pula dengan upaya penegakan hukum yang masih belum konsisten bagi perusak hutan dan lingkungan. Sosialisasi terhadap bahaya-bahaya kerusakan hutan dan lingkungan masih belum ditanggapi secara sungguh-sungguh oleh masyarakat.

iii.   Tindak Lajut

Upaya tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah: (1) mengefektifkan sosialisasi berbagai pedoman dan peraturan yang telah disusun; (2) mengembangkan konsep pelaksanaan dan pemantauan pelaksanaannya; (3) menyempurnakan mekanisme kelembagaan pendanaan pengelolaan lingkungan hidup; (4) melanjutkan upaya pengembangan teknologi produksi bersih; (5) mengintegrasikan biaya lingkungan ke dalam biaya produksi (internalisasi faktor eksternal); dan (6) upaya menegakkan hukum secara lebih konsisten untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Pada tahun mendatang pelaksanaan penegakan hukum ini perlu lebih ditingkatkan dengan membentuk semacam lembaga penyidikan, penuntutan, dan peradilan yang khusus menangani kasus pencemaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.


4.    Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup

a.   Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, termasuk perangkat hukum dan kebijakan, dan untuk menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat, dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksananya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten. Arah kebijakan ditetapkan sejalan dengan Propenas 2000-2004, yang mengamanatkan untuk mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga.

b.   Pelaksanaan

i.     Hasil yang Dicapai

Beberapa hal yang telah dicapai pada tahun 2001 adalah tersusunnya draft naskah akademis dan rancangan peraturan perundangan (RPP) tentang Produk Bioteknologi Modern Hasil Rekayasa Genetika, tersusunnya konsep panduan teknis aspek lingkungan dalam AMDAL, dan tertatanya institusi dan aparatur pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup di provinsi. Selain itu, juga telah dilakukan kegiatan untuk merumuskan batas-batas maritim sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan telah dilakukan peningkatan kemampuan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Perikanan melalui crash program PPNS. Selain itu, dilakukan pula pembangunan Balai Riset Pembenihan Ikan Laut di Gondol, Bali. Di bidang pertanian dilakukan peningkatan kemampuan aparat dalam pelayanan mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan koordinasi kebijakan dan program ketahanan pangan, serta pengembangan kelembagaan ketahanan pangan masyarakat termasuk pengembangan lumbung desa, serta penguatan lembaga usaha ekonomi perdesaan untuk pembelian gabah/beras petani di 15 provinsi sentra produksi beras (dana talangan).
Dalam tahun 2002 telah dilakukan pembentukan lembaga clearing house untuk kegiatan perlindungan lapisan ozon, serta pelaksanaan penguatan institusi dan aparatur penegak hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kegiatan lain yang dilaksanakan adalah penggelaran operasi bersama dengan TNI-AL untuk menertibkan rumpon dan beroperasinya kapal asing liar.

Pada tahun 2003 kegiatan yang dilakukan adalah meningkatkan pemantapan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam melalui beberapa kerjasama dengan pihak terkait, baik dalam negeri maupun luar negeri antara lain kerjasama dengan beberapa universitas untuk membentuk lembaga penyelesaian sengketa pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, di Medan dengan Universitas Sumatera Utara dan di Makasar dengan Universitas Hasanuddin. Selain itu, beberapa perundangan dan peraturan secara terus menerus dibahas dan dirumuskan kembali penyempurnaannya seperti RUU Pertambangan, revisi UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta beberapa peraturan perundangan lainnya.

Pada tahun 2004 sedang disiapkan penyempurnaan Revisi UU Perikanan Nomor 9 Tahun 1985, dan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Selain itu, telah dilakukan pula ratifikasi Unclos. Hal lain yang telah dicapai adalah meningkatnya status UPT Ditjen PHKA dari status unit menjadi Balai (32 Balai Konservasi Sumber Daya Alam/BKSDA dan 34 Balai Taman Nasional), meningkatnya pemahaman aparatur dan masyarakat di bidang KSDA, melajutkan upaya melestarikan kawasan konservasi; serta terbentuknya kesepahaman antara pemerintah dan LSM serta Lembaga Internasional. Dalam hal terjadinya tumpang tindih pemanfaatan pertambangan di lokasi hutan lindung, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang yang telah disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2004, yang di dalamnya mengatur perijinan bagi usaha pertambangan di wilayah hutan lindung melalui persyaratan yang cukup ketat, misalnya usaha pertambangan hanya boleh diteruskan apabila berada pada areal hutan produksi. Pedoman pengelolaan Karst, yang memiliki fungsi hidrogeologi dan potensi wisata telah ditetapkan untuk melindungi dari kegiatan penambangan yang berlebihan. Di samping itu dalam rangka pelestarian lingkungan hidup telah disusun beberapa pedoman diantaranya pedoman pengelolaan situ-situ di daerah, model pengelolaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, model valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup daerah, dokumen identitas Kabupaten/Kota melalui flora dan fauna. 

ii.    Permasalahan dan Tantangan

Adapun yang menjadi permasalahan adalah masih adanya faktor penghambat antara lain, kurang adanya keselarasan pengaturan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antarsektor terkait. Ketidakselarasan ini menghambat pelaksanaan koordinasi dan melemahkan penegakan hukum. Masalah lain yang cukup sulit adalah belum adanya kejelasan batas wilayah kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya, misalnya pada sektor kelautan antara TNI-AL dan Polri dalam penanganan kasus tindak pidana perikanan di laut. Sebagai contoh PPNS Perikanan memiliki kewenangan penyidikan, namun kasus yang diajukan PPNS Perikanan melalui Polri untuk dilakukan penuntutan sering kali ditolak. Akibatnya banyak kasus pidana perikanan di laut yang tidak dapat terselesaikan.

Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan peledak, bahan beracun, sianida, dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, dan kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab. Disisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang sering kali menimbulkan konflik kewenangan.
iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan antara lain adalah : (1) menyelesaikan peraturan perundang-undangan yang belum selesai dengan mencermati adanya tumpang tindih kepentingan antarsektor; (2) menata kelembagaan dan aparatur pengelola sumber daya alam; (3) meningkatkan supervisi dan pembinaan terhadap aparatur pengelola sumber daya alam; (4) meningkatkan koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah; (5) meningkatkan kualitas SDM dan menambah sarana dan prasarananya; dan (6) meningkatkan upaya penegakan hukum secara lebih konsisten. Selain itu, masih perlu dilanjutkan upaya pemasyarakatan/sosialisasi peraturan perundangan yang mendorong pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, diterbitkan peraturan perundangan dan direncanakan kembali pengelolaan keanekaragaman hayati yang menyerap aspirasi para pemangku kepentingan.


5.    Program Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup

a.    Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini ditujukan untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Sasaran yang akan dicapai adalah tersedianya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Kebijakan program diarahkan untuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan Undang-Undang.

b.    Pelaksanaan

i.     Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai pada tahun 2001 adalah dalam upaya memberdayakan masyarakat lokal telah diselenggarakan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kepedulian lingkungan seperti pelatihan pengendalian kerusakan mangrove, pengembangan budidaya mangrove-fisheries dengan maksud untuk membangun system pelestarian mangrove berbasis masyarakat setempat. Adapun kegiatan yang berkaitan dengan peran serta masyarakat meliputi pengembangan pola kemitraan dengan masyarakat di muara daerah aliran sungai (DAS), pengembangan kemitraan dengan penambang emas di Gunung Pongkor, serta pelaksanaan forum antar pemangku dalam pengelolaan lingkungan berbasis ekosistem, pembentukan kader peduli lingkungan dari masyarakat pekerja, serta pembentukan forum komunikasi masyarakat. Pembinaan sekitar 150 kelompok tani penghijauan di wilayah sub DAS Citarik di Kabupaten Bandung dan Sumedang.

Pada tahun 2002, hasil-hasil yang telah dicapai meliputi terbentuknya forum kerjasama antardesa di Kabupaten Sleman dalam pengelolaan lingkungan, tersusunnya rencana kerja kegiatan peningkatan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, serta tersosialisasinya program warga madani pesisir dan laut melalui penyelenggaraan forum dialog di Bandung, Serang dan Yogyakarta yang melibatkan 5 daerah pesisir Pantura dan 3 daerah pesisir selatan Jawa. Selain itu telah dihasilkan pula buku panduan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pelestarian lingkungan, dan terciptanya jalur-jalur komunikasi dan kordinasi dengan berbagai kelompok masyarakat sebagai aliansi strategis melalui pola kemitraan melalui penandatanganan Nota Kesepahaman dengan KADIN, SPSI, Aisiyah, Muhammadiyah, HKTI, HNSI, dan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN).
Pada tahun 2003 telah dilakukan beberapa sosialisasi kepada kelompok masyarakat pesisir, penambangan skala kecil, serta masyarakat sekitar hutan lindung mengenai arti pentingnya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, juga telah dilakukan upaya pembrntukan beberapa kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup dengan mengakomodasikan peran serta masyarakat, seperti terbentuknya 180 kelompok masyarakat pesisir peduli lingkungan, 120 kader dan pionir peduli lingkungan, serta aliansi kelompok masyarakat peduli lingkungan.

Pada tahun 2004, telah didilakukan upaya peningkatan akses bagi masyarakat adat dan lokal dalam mengelola dan memonitor sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui pengembangan Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS) dan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat.

ii.    Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang muncul dalam mewujudkan pelaksanaan program ini adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat akan arti penting dan nilai strategis sumber daya alam baik kelautan dan perikanan, kehutanan, pertambangan, dan sumber daya alam lainnya. Selain itu masih adanya sikap skeptis pada masyarakat terhadap penegakan hukum bagi pelaku perusakan lingkungan, hal ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap peran serta masyarakat dalam ikut serta menjaga kelestarian lingkungan. Hambatan lainnya adalah persepsi yang sudah mengakar di masyarakat, bahwa pemerintah selalu memiliki maksud untuk ‘merugikan’ dan ‘merepotkan’ masyarakat, sehingga partisipasi yang diharapkan tidak terjadi secara sukarela. Di samping itu dengan diberlakukan otonomi daerah telah menyebabkan beberapa daerah berlomba-lomba meningkatkan PAD tanpa memperhatikan daya dukung lahan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
iii.   Tindak Lanjut

Rencana tindak lanjut dalam mewujudkan tujuan program ini adalah melanjutkan upaya pengembangan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, peningkatan koordinasi dan melaksanakan kegiatan secara berkelanjutan, melanjutkan pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi dengan pola kemitraan secara berkelanjutan, serta penanaman kepercayaan terhadap masyarakat melalui kegiatan nyata dan bermanfaat bagi masyarakat.

Mengingat peran serta masyarakat cukup signifikan di dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, maka dalam tahun mendatang perlu dilakukan pemberdayaan terhadap LSM yang memiliki perhatian cukup tinggi terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tindak lanjut yang diperlukan adalah upaya meningkatkan kemitraan dengan masyarakat untuk melakukan perbaikan lingkungan. Selain itu, perlu pula melakukan upaya penegakan hukum secara lebih konsisten agar tidak ada keraguan di masyarakat untuk berpartisipasi aktif menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.